Kota Tangerang — Seratus hari masa pemerintahan Wali Kota Sachrudin dan Wakil Wali Kota Maryono justru dibuka dengan gelombang kritik dari mahasiswa.
Belasan massa aksi dari Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) dan Forum Aksi Mahasiswa (FAM) Kota Tangerang menggelar unjuk rasa di depan kantor Wali Kota. Mereka menyampaikan tuntutan dan menyerahkan piagam “penghargaan atas kegagalan”, sindiran tajam terhadap kepemimpinan yang mereka nilai gagal menjawab kebutuhan masyarakat.
Sorang tajam diarahkan pada sektor pendidikan. Program pendidikan gratis untuk sekolah swasta yang diluncurkan sejak akhir 2023 dinilai mandek.
Hingga pertengahan 2025, jumlah sekolah penerima bantuan stagnan di angka 141, terdiri dari 67 SD dan 74 SMP. Bagi mahasiswa, angka tersebut bukan pencapaian, melainkan bukti minimnya evaluasi dan keseriusan dalam memperluas akses pendidikan.
Di saat yang sama, kondisi sekolah negeri di berbagai wilayah Kota Tangerang masih jauh dari layak. Banyak sekolah mengalami kerusakan fasilitas. Meja dan kursi rusak, cat ruang kelas yang terkelupas, dan media belajar seadanya.
Ironisnya, pemerintah justru menggelontorkan anggaran besar untuk pengadaan Interactive Flat Panel (IFP) layar sentuh digital yang dipromosikan sebagai bagian dari digitalisasi pendidikan.
Namun kenyataannya, IFP justru menjadi simbol kegagalan teknokratis. Banyak unit ditemukan tidak responsif, layar sulit disentuh, dan perangkat sering lemot. Di beberapa sekolah, alat hanya menjadi pajangan karena guru tidak dibekali pelatihan teknis.
“Kami menduga kuat ada penyimpangan dalam proyek ini. Mulai dari harga yang tidak masuk akal, spesifikasi yang diduga tak sesuai kebutuhan sekolah, hingga vendor yang tidak jelas. Bahkan pelatihan untuk guru tidak jelas,” ujar mahasiswa dalam orasinya.
Mahasiswa menuntut agar seluruh dokumen pengadaan IFP dibuka ke publik. Mereka mendesak dilakukan audit menyeluruh terhadap proyek ini, karena khawatir IFP hanya menjadi proyek etalase anggaran yang gagal memberi dampak nyata.
Kritik tidak berhenti di sektor pendidikan. Program job on training juga menjadi sasaran kecaman. Mahasiswa menyebutnya sebagai bentuk pembodohan publik yang hanya bersifat seremonial dan tidak menyelesaikan masalah pengangguran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran di Kota Tangerang masih berada di atas 5 persen. Angka ini menjadi bukti bahwa program pelatihan kerja yang digembar-gemborkan tidak mampu menyerap tenaga kerja secara signifikan.
Dalam aksi itu, mahasiswa juga menyoroti dugaan praktik korupsi di Dinas Kesehatan, khususnya dalam proyek pembangunan RSUD. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK tahun 2023, ditemukan sejumlah kejanggalan dalam pembangunan RSUD Panunggangan yang dikerjakan oleh PT Mitra Eclat Gunung Artha dengan nilai kontrak Rp33.986.527.618,83. Terdapat ketidaksesuaian senilai Rp381.588.998,38 terhadap 42 jenis barang yang tidak sesuai dengan kontrak. Selain itu, BPK mencatat kekurangan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan senilai Rp292.753.375,54.
Tidak hanya itu, dalam proyek RSUD Jurumudi Baru pada tahun sebelumnya, ditemukan pula kejanggalan serupa. Pembangunan oleh PT Istana Intan Raya dengan nilai kontrak Rp19.402.904.813,13 menyisakan ketidaksesuaian senilai Rp522.729.037,25 terhadap jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak.
Mahasiswa meminta aparat penegak hukum segera turun tangan mengusut pengadaan alat kesehatan dan proyek pembangunan RSUD yang dinilai sarat kejanggalan tersebut.
Ketika Wali Kota dikabarkan bersedia menemui perwakilan massa, mahasiswa menolak. Mereka mendesak agar Wali Kota turun langsung ke lapangan, berdiri di hadapan rakyatnya sendiri.
“Kalau pemimpin tak berani berdiri di depan rakyatnya, pantas dipertanyakan siapa yang sebenarnya ia layani,” seru salah satu koordinator aksi.
Aksi ditutup dengan ultimatum. Jika tidak ada langkah konkret dalam waktu dekat, mahasiswa mengancam akan kembali turun ke jalan dengan skala lebih besar. Mereka mendesak evaluasi menyeluruh terhadap Dinas Pendidikan, Dinas Tenaga Kerja, dan Dinas Kesehatan. Selain itu, mereka menuntut pembentukan tim audit independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil.
Bagi mahasiswa, kegagalan birokrasi tidak bisa lagi ditutupi dengan seremoni. Mereka menegaskan: saatnya rakyat diberi kejelasan, bukan sekadar janji.(red)