KOMET.NEWS, KOTA TANGERANG, -Dalam struktur organisasi profesi guru, PGRI semestinya menjadi ruang netral yang menjunjung tinggi nilai keilmuan, kemerdekaan berpikir, serta perlindungan terhadap para pendidik.
Namun di Kota Tangerang, di bawah kepemimpinan Bagio Dullah Komari dan sekretarisnya Nasrullah, organisasi ini diduga telah bertransformasi menjadi instrumen kekuasaan, kendaraan politik, dan ladang bisnis yang jauh dari semangat profesionalisme.
Salah satu sorotan datang dari praktik pemaksaan pembelian kalender PGRI yang berlangsung secara masif di sekolah-sekolah negeri. Kalender dijual dengan harga Rp27.000 hingga Rp30.000 per eksemplar, dan disalurkan dalam jumlah belasan ribu eksemplar. Sejumlah guru mengaku tidak diberikan pilihan, hanya diberi instruksi untuk menyetor dana.
“Kami disuruh setor, bukan ditawari. Seperti iuran wajib tahunan,” ujar seorang guru SD.
Kewajiban ini diduga menjadi salah satu sumber pemasukan internal PGRI, meski belum pernah ada laporan keuangan atau audit terbuka mengenai penggunaannya.
Indikasi penyalahgunaan kewenangan juga muncul dalam pengadaan Interactive Flat Panel (IFP) untuk sejumlah SMP. Meski pembelian dilakukan melalui e-Katalog, penyedianya hanya satu, yakni PT Bhumi Sinar Muara, perusahaan berkualifikasi usaha kecil yang mampu menangani pengadaan bernilai puluhan miliar rupiah. Beberapa kepala sekolah mengeluhkan kualitas perangkat yang dianggap tidak sesuai spesifikasi. Di balik pengadaan ini, terdapat dugaan praktik cashback yang disebut-sebut mengalir ke sejumlah pejabat di lingkungan PGRI dan Dinas Pendidikan yang orang-orangnya diduga itu-itu juga.
Selain itu, Bagio juga diduga mengelola sebuah toko penyedia kebutuhan sekolah di platform SIPLaH yang aktif menjual alat tulis, map, cover rapor, sampul ijazah, hingga alat peraga.
Toko ini disebut kerap diarahkan ke sekolah-sekolah melalui jalur struktural. Berdasarkan penelusuran digital, alamat IP yang digunakan untuk mengakses dan mengelola akun SIPLaH toko tersebut diduga terdeteksi berasal dari salah satu gedung SMP negeri di Kota Tangerang.
Dugaan konflik kepentingan menguat karena Bagio menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan SMP di Dinas Pendidikan sekaligus Ketua PGRI Kota Tangerang. Sementara itu, istrinya menjabat sebagai Kepala SMP Negeri 13 Kota Tangerang, yang turut berada dalam lingkup jaringan struktural yang sama.
Di tingkat organisasi, proses pemilihan Bagio sebagai Ketua PGRI Kota Tangerang dilakukan secara aklamasi, dalam forum yang oleh sejumlah pengurus lama disebut telah “dikondisikan”. Nama Jamaludin, Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang sekaligus Ketua PGRI Provinsi Banten, disebut-sebut ikut mendorong agar tidak ada calon lain dalam pemilihan tersebut.
Sejumlah kader lama kemudian mengambil jarak, kecewa terhadap gaya kepemimpinan yang dinilai tidak demokratis dan sarat kepentingan.
Ketegangan makin memuncak menjelang Pilkada Kota Tangerang. Bagio dan Nasrullah disebut oleh beberapa sumber diduga berperan sebagai aktor penting yang mendorong dukungan kepada pasangan calon Faldo Fadlin (FF).
Arahan itu disampaikan dalam berbagai pertemuan, baik formal maupun informal. Dalam beberapa kasus, dugaan praktik politik uang muncul, termasuk beredarnya video yang menunjukkan warga mengaku menerima uang dari pihak yang diduga terkait dengan Dinas Pendidikan.
Namun strategi itu tak membuahkan hasil. Pasangan FF kalah telak. Di bilik suara, para guru menunjukkan perlawanan senyap: mereka tampak patuh, namun memilih sesuai hati nurani. Kekalahan ini menjadi pukulan telak bagi para aktor utama di balik gerakan politik tersebut.
Setelah posisi Jamaludin mulai terpinggirkan dari jabatan Kepala Dinas Pendidikan, Bagio dan Nasrullah pun diduga ikut tersandera secara politis. Kekuasaan formal masih mereka pegang, tetapi legitimasi moral dan dukungan perlahan luntur.
Kekalahan FF juga menciptakan tekanan pribadi bagi Jamaludin. Ia disebut tidak lagi nyaman menjalankan peran sebagai Kadis Pendidikan dan memilih untuk “kabur secara halus” ke Pemerintah Provinsi Banten. Usulan mutasinya sudah diajukan, namun hingga kini belum jelas kapan akan terealisasi. Di lingkungan internal, statusnya kini mengamban tidak benar-benar menjabat, namun juga belum resmi diberhentikan.
Situasi ini makin pelik karena dalam waktu dekat, program Seleksi Penerimaan Siswa Baru akan segera dimulai. Sebagai program strategis dalam peta pendidikan daerah, pelaksanaan tersebut membutuhkan pengawasan ketat, koordinasi intensif, dan kepemimpinan yang kuat.
Kendati Jamaludin secara formal menyatakan siap dan telah menggulirkan penandatanganan fakta integritas, praktik di lapangan masih menyisakan tanda tanya besar. Komitmen di atas kertas belum tentu mencerminkan integritas dalam pelaksanaan, terlebih dalam kondisi kepemimpinan yang sedang rapuh dan penuh tekanan politik.
Ketidakpastian posisi dan melemahnya otoritas struktural dikhawatirkan akan membuka celah bagi intervensi, manipulasi, atau permainan kepentingan lama yang belum sepenuhnya hilang dari dunia pendidikan Kota Tangerang.
Situasi tersebut berdampak sistemik pada dunia pendidikan di Kota Tangerang. Pelantikan puluhan calon kepala sekolah tertunda tanpa kejelasan. Program supervisi dan pengawasan stagnan. Distribusi guru PPPK berlangsung tanpa kajian berbasis kebutuhan nyata. Penempatan guru dilakukan tanpa memperhatikan domisili atau rasio siswa-guru secara objektif.
Akibatnya, beberapa kelas kosong karena guru datang terlambat atau kelelahan. Di satu sisi, sekolah kekurangan tenaga pengajar. Di sisi lain, kelebihan guru memicu konflik peran.
“Sering kosong, kadang disuruh baca sendiri,” ungkap orangtua siswa kelas VIII disalahsatu sekolah dasar dikecamatan Cipondoh.
Minimnya transparansi dalam pemetaan kebutuhan guru memperkuat dugaan bahwa birokrasi pendidikan tidak lagi berjalan berdasarkan data dan analisis, tetapi tunduk pada arah struktural yang tidak jelas.
Hingga laporan ini diterbitkan, pihak-pihak yang disebut belum memberikan tanggapan resmi, meski permintaan konfirmasi telah disampaikan melalui berbagai saluran. Redaksi tetap menjunjung asas praduga tak bersalah dan membuka ruang klarifikasi bagi semua pihak.
Namun demikian, pola dugaan yang muncul, jaringan keterlibatan yang tumpang tindih, serta dampak langsung terhadap dunia pendidikan menunjukkan bahwa tubuh PGRI dan birokrasi pendidikan di Kota Tangerang sedang tidak sehat. ===Bersambung====