KOMET.NEWS, KOTA TANGERANG – Pilkada Kota Tangerang memang telah usai, namun riaknya masih terasa hingga hari ini. Ironisnya, sektor pendidikan justru menjadi korban senyap dari konflik kepentingan politik yang merembet ke dalam birokrasi.

Dua tokoh penting disebut-sebut terlibat dalam pusaran isu tersebut: Jamaludin, Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang, dan Bagio Dullah Komari, Ketua PGRI Kota Tangerang.

Menjelang tahapan Pilkada, ribuan poster bergambar Jamaludin tiba-tiba tersebar luas di jalan-jalan Kota Tangerang—dari jalan utama hingga gang sempit. Hal ini langsung memicu spekulasi bahwa Jamaludin tengah mempersiapkan diri maju dalam kontestasi Pilkada.

Namun secara mengejutkan, langkah politik tersebut terhenti tanpa penjelasan resmi. Belakangan, Jamaludin disebut-sebut mengalihkan dukungannya ke salah satu pasangan calon yang kemudian kalah dalam Pilkada.

“Kami melihat sendiri bagaimana narasi politik diselipkan dalam forum pendidikan. Seolah formal, tapi isi pembicaraannya sangat politis,” ungkap seorang guru senior di Kecamatan Karawaci, yang enggan disebut namanya.

Dugaan keterlibatan politik semakin mencuat setelah beredar video seorang warga yang mengaku menerima amplop berisi uang Rp50 ribu untuk memilih pasangan calon tertentu. Nama Jamaludin ikut disebut, meski Bawaslu Kota Tangerang menyatakan tidak ditemukan cukup bukti atas keterlibatan langsungnya.

Usai Pilkada, Jamaludin mulai menghilang dari berbagai agenda publik. Ia dikabarkan akan pindah ke tingkat provinsi setelah terpilih sebagai Ketua PGRI Provinsi Banten. Namun hingga kini, belum ada pernyataan resmi soal kepindahannya.

Tokoh lainnya, Bagio Dullah Komari yang pernah menjabat sebagai Sekjen dan Kabid Pembinaan SMP juga ikut disorot. Ia diduga memobilisasi jaringan PGRI untuk mendukung pasangan calon tertentu.

“Struktur organisasi PGRI seolah diarahkan ke agenda non-pendidikan. Kami merasakannya, tapi tidak semua berani bersuara,” ujar seorang kader PGRI.

Kisruh ini berdampak langsung pada dunia pendidikan. Proses pelantikan puluhan calon kepala sekolah yang telah lulus seleksi tiba-tiba dibekukan tanpa alasan yang jelas. Bahkan, beberapa peserta harus mengulang seleksi dari awal.

“Kami tinggal menunggu pelantikan. Semua tahapan sudah kami lewati, tapi tiba-tiba diminta ikut seleksi lagi dari awal,” keluh seorang calon kepala sekolah.

Kondisi ini memperparah krisis kekosongan jabatan kepala sekolah di Kota Tangerang. Banyak SD dan SMP yang kini hanya dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt), dengan kewenangan terbatas.

“Anak-anak butuh keputusan cepat. Tapi bagaimana program berjalan kalau kepala sekolahnya saja belum ada?” kata seorang guru di wilayah Periuk.

Situasi ini memperlihatkan bahwa birokrasi pendidikan telah terseret ke dalam arus politik kekuasaan. Ketika jabatan publik dijadikan alat tawar-menawar politik, yang menjadi korban utama adalah mutu pendidikan dan kepercayaan masyarakat.

“Kami tidak ingin jadi pion dalam permainan politik. Kami hanya ingin mendidik anak bangsa tanpa tekanan dan arahan yang tak jelas,” – Guru, Tangerang Barat.

Hingga berita ini dipublikasikan, Jamaludin dan Bagio Dullah Komari belum memberikan tanggapan meski telah dihubungi tim redaksi. Nomor telepon keduanya pun tidak aktif. (Red)

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *