Kota Tangerang, – Jelang pengambilan Surat Keterangan Lulus (SKL) tahun ajaran 2024–2025, sejumlah wali murid di Kota Tangerang mengaku diminta membayar pungutan yang nilainya mencapai Rp600 ribu per siswa.

Dugaan pungutan liar ini terjadi di sejumlah Sekolah Dasar Negeri, dan dilakukan tanpa prosedur resmi, melalui instruksi informal kepada orang tua murid.

Dari informasi yang dihimpun, dana tersebut terdiri atas Rp500 ribu untuk pencetakan SKL dan Rp100 ribu untuk keperluan konsumsi saat acara pembagian surat. Tidak ada kuitansi, tidak ada berita acara, dan tidak ada dasar hukum yang menjelaskan pungutan itu.

“Kalau tidak ikut bayar, katanya SKL anak kami dibagikan terakhir. Seolah-olah kami sedang memesan barang, bukan menerima hak dasar anak,” ujar salah satu wali murid yang meminta namanya dirahasiakan karena takut terjadi dampak terhadap anaknya.

Dugaan pungutan ini tidak hanya terjadi di satu sekolah. Sejumlah wali murid dari berbagai kecamatan, seperti Cipondoh dan Pinang, juga mengaku menerima permintaan serupa dari pihak sekolah atau komite.

Semua disampaikan secara lisan atau melalui pesan singkat, tanpa melalui rapat komite resmi.

“Bahasanya iuran sukarela, tapi semua ditentukan besarannya. Tidak ada ruang keberatan,” kata seorang wali murid dari SDN di wilayah Cipondoh.

Situasi ini memunculkan dugaan bahwa pungutan telah menjadi pola terstruktur yang dibiarkan berjalan setiap tahun, tanpa intervensi serius dari pihak Dinas Pendidikan Kota Tangerang.

Padahal, berdasarkan Permendikbudristek Nomor 75 Tahun 2016, sekolah negeri dilarang keras menarik biaya atas layanan pendidikan dasar, termasuk penerbitan SKL. Komite sekolah pun tidak dibenarkan menjadi ‘perpanjangan tangan’ sekolah dalam menarik dana wajib dari wali murid.

Masalah menjadi semakin kompleks ketika publik mempertanyakan kemana arah penggunaan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang seharusnya mencakup pembiayaan operasional sekolah termasuk penggandaan dokumen dan administrasi kelulusan siswa.

Diketahui bahwa setiap sekolah dasar negeri menerima Dana BOS Reguler berkisar antara Rp900 ribu hingga Rp1,1 juta per siswa per tahun, tergantung jumlah peserta didik. Artinya, untuk sekolah dengan 200–400 siswa, dana yang diterima bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahun. Di dalam juknis BOS, disebutkan bahwa dana tersebut dapat digunakan untuk “penggandaan dan penyediaan administrasi kelulusan.”

“Kalau dokumen SKL sudah ditanggung BOS, lalu untuk apa orang tua diminta bayar sampai ratusan ribu? Ini jelas patut dicurigai,” ujar aktivis pendidikan M. Lutfi.

Menurutnya, hal ini bukan sekadar soal pungutan, tapi ada sinyalemen penyalahgunaan fungsi anggaran. “BOS seharusnya cukup untuk penggandaan SKL, ATK, bahkan konsumsi kegiatan seremonial kecil pun bisa dimasukkan. Tapi entah kenapa justru orang tua diminta menutup biaya yang seharusnya ditanggung negara,” tambahnya.

Dalam penelusuran ini, sejumlah wali murid mengaku tertekan secara psikologis dan sosial. Ada kekhawatiran bahwa jika menolak membayar, anak mereka akan mendapat perlakuan berbeda. “Takut anak jadi bahan omongan guru atau dikucilkan,” ujar seorang ibu di Kecamatan Pinang.

Sinyal lain muncul dari tidak adanya transparansi dana. Beberapa wali murid mengaku diminta transfer ke rekening pribadi, bukan ke rekening resmi sekolah atau komite. Ini semakin menguatkan dugaan adanya pelanggaran terhadap tata kelola dana publik dan menabrak prinsip akuntabilitas.

Hingga berita ini diterbitkan, pihak Dinas Pendidikan Kota Tangerang belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut. Saat dikonfirmasi, sejumlah sekolah yang disebut dalam aduan memilih diam atau menyatakan bahwa pungutan itu “atas dasar musyawarah komite” klaim yang tak dapat diverifikasi oleh wali murid dan bertentangan dengan ketentuan undang-undang.

Dugaan pungli di tingkat sekolah dasar ini bukan yang pertama. Namun selama tidak ada audit menyeluruh atas pemanfaatan Dana BOS, maupun penindakan terhadap oknum sekolah yang melanggar, maka praktik ini dikhawatirkan akan terus menjadi pola tahunan di mana orang tua menjadi korban diam, dan anak-anak membayar mahal atas janji pendidikan gratis yang kian jauh dari kenyataan. (tim)

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *