Kota Tangerang, – Bayang-bayang kekuasaan tak hanya merambah ruang birokrasi, tapi kini menjangkau ruang kelas dan ruang guru.
Di Kota Tangerang, pengadaan foto Presiden dan Wakil Presiden serta penjualan kalender PGRI kepada guru-guru sekolah dasar dan menengah disinyalir telah dikendalikan oleh sekelompok elite pendidikan yang berafiliasi politik, meski pasangan calon yang mereka dukung kalah dalam Pilkada.
Sumber-sumber investigasi menyebut, penyedia barang berinisial A, yang diduga berasal dari tim sukses salah satu pasangan calon yang kalah, tetap mendapat jalan mulus untuk memasok barang melalui jalur pengadaan SIPLah.
Barang-barang tersebut mulai dari foto Presiden hingga perangkat pendukung lainnya mengalir ke sekolah-sekolah dengan tekanan halus hingga terang-terangan.
Sementara itu, penyedia lama yang kredibel, seperti S, justru tersingkir tanpa alasan profesional yang jelas.
“Sekolah tidak diberi ruang memilih. Ada tekanan. Kalau tidak ikut arus, takutnya kita disandera,” ungkap seorang kepala sekolah SD di Kecamatan Cipondoh, yang meminta namanya dirahasiakan.
Penjualan kalender PGRI yang langsung dari organisasi guru menjadi beban tambahan. Kalender dijual secara massif, bahkan dengan metode yang mirip penarikan iuran wajib.
Semua itu diduga dilakukan di bawah kendali Bagio Dullah Komari, Ketua PGRI Kota Tangerang yang juga menjabat Kepala Bidang Pembinaan SMP di Dinas Pendidikan.
Tak kalah mencolok, dugaan peran Jamaluddin Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang sekaligus Ketua PGRI Provinsi Banten disebut-sebut menggelar “karpet merah” bagi penyedia dari kalangan tim sukses.
Keduanya, Bagio dan Jamaluddin, diduga membangun jalur distribusi yang sarat konflik kepentingan antara jabatan birokratis dan pengaruh politik.
“Ini dagang kekuasaan dibungkus program pendidikan. Guru dijadikan sasaran empuk,” ujar seorang guru SMP yang menolak disebutkan namanya.
Namun, tak semua guru tunduk. Di balik tekanan organisasi, banyak guru memilih untuk diam namun aktif melawan.
Dalam Pilkada Kota Tangerang lalu, meski sebagian pengurus PGRI secara terang-terangan mengarahkan dukungan ke salah satu paslon, para guru justru diam-diam mengalihkan dukungan ke pasangan Sachrudin–Maryono.
“Kami tahu mereka bermain, tapi jangan kira guru bisa diatur seenaknya. Kami diam, tapi tidak tunduk,” ujar seorang kepala sekolah dengan nada geram.
Pakar tata kelola pendidikan, Dr. Adi Santoso, menilai praktik seperti ini sangat berbahaya.
“Jika jabatan publik dan organisasi profesi dipakai untuk menggalang bisnis politik, maka pendidikan berubah fungsi bukan mencerdaskan, tapi melanggengkan kepentingan kekuasaan.” Adi
Upaya konfirmasi kepada Bagio Dullah Komari, Jamaluddin, dan penyedia berinisial A belum membuahkan tanggapan hingga laporan ini diturunkan.(tim)
—
Catatan Redaksi:
Redaksi memberikan hak jawab kepada semua pihak yang disebut dalam laporan ini. Klarifikasi dan tanggapan akan ditayangkan secara proporsional sesuai prinsip keberimbangan.(*)